Ajarannya Ahmadiyah tertulis dalam berbagai bukunya. Lalu, apakah 12 pernyataan yang disampaikan itu dapat menggambarkan hakikat ajaran Ahmadiyah sesungguhnya? Apakah pernyataan tersebut sesuai dengan apa yang ada didalam buku-buku mereka? Karenanya, penting mencermati isi pernyataan tersebut, khususnya yang sangat substansial.
Ahmadiyah mengakui Muhammad SAW sebagai Rasulullah (butir 1). Namun, penting dicatat bahwa sekalipun mereka mengakui Muhammad SAW sebagai Rasul namun didalam ‘kitab suci’ mereka (Tadzkirah) diserukan bahwa yang harus diikuti adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang diutus sebagai Rasul dengan membawa agama kebenaran dan dimenangkan diatas semua agama adalah Mirza Ghulam Ahmad; yang menjadi ‘al mukhothob’ (yang diseru) dalam ayat-ayat al-Quran yang dimasukkan kedalam Tadzkirah adalah Mirza (Haqiqatul Wahyi, hal. 71 dan kandungan umum Tadzkirah).
Butir ke-2 pernyataan itu menyebutkan bahwa Muhammad Rasulullah adalah khatamun nabiyin (nabi penutup). Tetapi, keyakinan yang lengkap terdapat didalam buku resmi mereka: ‘Nabi Muhammad merupakan nabi penutup yang membawa syariat, tetapi bukan penutup nabi-nabi yang tidak membawa syariat. Jadi, tetap terbuka diutusnya nabi setelah Nabi Muhammad’ (Ahmadiyah, Apa dan Mengapa. Syafi’i R. Batuah. Cetakan XVIII. Peberbitan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1986, hal. 7) dan khatamun nabiyyin yang mereka yakini artinya nabi yang paling sempurna, cincin para nabi (Tiga Masalah Penting, H. Mahmud Ahmad Chema, H. A. Penerbit Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1987, hal. 25-26). Bahkan, dalam terjemahan bahasa Inggris buku Tadzkirah (tahun 2006) yang dikeluarkan Pimpinan Pusat Ahmadiyah di London kata khatam dalam ‘khathamun nabiyyin’ dimaknai dengan seal (segel, materei) bukan penutup. Jadi, butir ke-2 ini hanya mengungkapkan sepotong dari keyakinan sebenarnya.
Butir 3 menyatakan ‘Diantara keyakinan kami bahwa Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang guru, mursyid, pembawa berita dan peringatan serta pengemban mubasysyirat, … ‘. Butir ini menyatakan ‘diantara keyakinan kami’. Ada keyakinan mereka yang tidak disebutkan di butir pernyataan ini, yaitu Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi mereka. Di dalam Tadzkirah antara lain dinyatakan, “Dialah Tuhan yang mengutus rasulNya, Mirza Ghulam Ahmad, dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya atas semua agama (Tadzkirah, hal. 621). Dalam Kata Pengantar Tadzkirah edisi Inggris disebutkan: ‘Mirza Ghulam Ahmad affirmed that his claim to prophethood, as explained by him, was in accord with the Holy Quran and the true Hadits’ [Mirza Ghulam Ahmad menegaskan bahwa klaimnya terhadap kenabian, seperti yang ia jelaskan, sesuai dengan petunjuk al-Quran dan hadits shahih] (Tadzkirah, edisi Inggris, Pimpinan Pusat Ahmadiyah London, 2006, hal. 7).
Butir 5 menyatakan ‘ … tidak ada wahyu syariat setelah al-Quranul Karim …’. Disini hanya disebut ‘wahyu syariat’ karena memang mereka meyakini Mirza tidak membawa syariat baru. Namun, buku Ahmadiyah tetap menyebutkan tentang keyakinan ada wahyu selain ‘wahyu syariat’ yang turun kepada Mirza (Kami Orang Islam, PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1984, hal. 22). Bahkan, banyak teks dalam buku Tadzkirah yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad (Tadzkirah: 519, 637; Haqiqatul Wahyi: 88; Al-istifta`: 83).
“Buku Tadzkirah bukanlah kitab suci Ahmadiyah, melainkan catatan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad …” (butir 6). Tapi, nama lengkap buku itu adalah: تَذْكِرَةُ يَعْنِى وَحْيٌ مُقَدَّسٌ رُؤْيَا وَ كُشُوْفَ حَضْرَتِ مَسِيْح مَوْعُوْدِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ (Tadzkirah, yakni wahyu suci, mimpi, kasyaf Hadhrat al-Masih yang dijanjikan/masih maw’ud atasnya shalawat dan salam). Bahkan dalam ayat-ayat dalam Tadzkirah bertebaran perkataan yang diawali ‘menurut wahyu’, baik dalam bahasa Urdu, Persia, atau Arab. Mirza sendiri mengakui wahyu pertama yang turun adalah ‘Yah, Ahmad, barokallohu fika’ (Wahai, Ahmad, Allah telah memberikan berkah kepadamu) dan Allah SWT berbicara langsung dengan Mirza (Tadzkirah: 43-70).
Pada satu sisi, ajaran seperti ini disebut oleh Rasulullah saw. sebagai dusta. Pada masa Nabi Muhammad saw. ada seseorang yang bernama Musailamah yang mengaku Nabi. Kemudian Rasulullah saw. berkhutbah:
«أَمَّا بَعْدُ فَفِي شَأْنِ هَذَا الرَّجُلِ الَّذِي قَدْ أَكْثَرْتُمْ فِيهِ وَإِنَّهُ كَذَّابٌ مِنْ ثَلاَثِينَ كَذَّابًا يَخْرُجُونَ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ»
Amma ba‘du. Terkait dengan laki-laki yang banyak kalian bicarakan itu, sesungguhnya dia itu pendusta besar (kadzdzâb); salah satu dari tiga puluh pendusta yang akan datang sebelum Hari Kiamat. (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Suatu waktu, Musailamah al-Kadzdzâb mengirim surat kepada Nabi Muhammad saw. yang disampaikan oleh dua utusannya. Rasul saw. bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa Musailamah adalah Rasulullah.” Rasulullah Muhammad saw. pun berkata, “Kalau saja aku dibolehkan membunuh utusan, niscaya aku akan memenggal leher kalian berdua.” (HR Ahmad).
Pada sisi lain, terdapat perbedaan sangat prinsip antara isi pernyataan dengan apa yang tertulis dalam buku-buku mereka. Jadi, kaum Muslim sejatinya waspada dan tidak mudah untuk menerima penjelasan yang hanya 12 butir lagi singkat tersebut.