Politik; Rekayasa dan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar

ALHAMDULILLAH! Jakarta ternyata aman!. Itulah headline sebuah surat kabar ibukota setelah desas-desus bakal adanya bentrokan massa antara pendukung dan penentang presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 15 Januari 2001 tidak terbukti. Berita lain menyebut Presiden menolak pemanggilan Pansus Buloggate dan Brunei Gate yang diperkirakan akan menjadi pemicu bentrokan yang urung terjadi itu. Sementara itu justru presiden membuat berita yang lebih besar menggantikan hal di atas, yakni ucapannya dalam wawancara dengan Newsweek, bahwa Mantan KSAD Jendral (purn.) R. Hartono dan Mantan Pangkostrad Letjend (purn.) Prabowo terlibat dalam kasus Pemboman di malam natal. Namun berita itu kemudian diralat oleh jubir kepresidenan, Wimar Witular esok harinya (Kompas, 17 Januari 2001).

Sungguh berbagai berbagai pemberitaan dua tiga tahun terakhir ini telah membuat bingung masyarakat kita. Wajar rakyat bingung dengan perilaku para elite politik, baik eksekutif maupun legislatif yang selama ini selalu menutupi ekses negatif dari konflik di antara mereka dengan ungkapan “kita sedang belajar berdemokrasi”.

Pertanyaannya justru dibalik, kenapa belajar demokrasi justru menimbulkan kericuhan politik? Apakah demokrasi itu memang biang kericuhan politik sebagaimana yang telah dialami para pendahulu kita di tahun 50-an? Kalau memang ya, kenapa mesti mengadopsi demokrasi? Kalau ini hanya dampak karena baru belajar, bagaimana bisa dijelaskan? Sedangkan di negara kampiun demokrasi AS, toh pemilu terbaru kemarin ricuh. Orang pun masih bertanya, bagaimana Gore yang mengantongi suara terbanyak, justru Greorge W Bush yang jadi presiden AS.

Lebih dari itu, bagaimana definisi politik menurut Islam? Bagaimana pula perilaku politik dalam paradigma politik Islam? Tulisan ini akan menguraikannya agar menjadi wawasan bagi kaum muslimin yang warga negara mayoritas negara ini.

Memelihara Urusan Rakyat, Bukan Rebutan KekuasaanSyaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Mafaahiim Siyasiyah hal. 1 mendefinisikan politik (as siyasah) sebagai : “pemeliharaan urusan rakyat baik di dalam negeri maupun di luar negeri”. Pemeliharaan urusan di dalam negeri dilakukan dengan cara menerapkan mabda (aqidah yang menghasilkan peraturan-peraturan) Islam. Sedangkan pemeliharaan urusan umat diluar negeri dilakukan dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.Dalam perspektif Islam, negara adalah pelaku langsung dari pemeliharaan urusan rakyat sedangkan partisipasi rakyat dalam bidang politik adalah dengan melakukan kontrol terhadap kebijakan penguasa, sudahkah memenuhi unsur memelihara urusan umat atau belum. Yakni apakah kebijakan negara itu menghasilkan kemasalahatan bagi kaum muslimin ataukah sebaliknya bakal menimbulkan kemudharatan mereka. Dengan demikian tugas rakyat dalam bidang politik, baik sebagai pribadi maupun partai politik, adalah melakukan kontrol (muhasabah) atau dalam bahasa syara’ populer disebut amar ma’ruf nahi munkar.

Merujuk kepada pengertian politik sebagai pemeliharaan urusan umat (ri’aayah lisyu-unil ummah), peran negara sebagai pemelihara (Ra’ai) ditegaskan dalam hadits Nabi:

“Dan Imam yang diberi kekuasaan atas manusia adalah pemimpin (penggembala) dan dia akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dipimpinnya” (HR.Muttafaq alaih).Melihat teks hadits tersebut jelas bahwa jabatan seorang penguasa dalam pandangan Islam adalah sebagai pemelihara atau penggembala (Ra’i) yang bertugas melakukan pemeliharaan (ri’ayah) terhadap urusan warga negara atau rakyat (Ra’iyyah). Dari hadits Nabi itu dapat dimengerti bahwa tanggung jawab penguasa (Ra’i) adalah kepada Allah SWT yang membuat syari’at yang harus dijalankan oleh penguasa dalam rangka memelihara urusan rakyat. Jadi, berbeda dengan pertanggungjawaban dalam sistem demokrasi, dalam sistem Islam pertanggungjawaban itu bukanlah kepada rakyat, tetapi kepada Allah SWT. Rakyat dan kemaslahatan mereka justru merupakan perkara yang harus dipertanggungjawabkan oleh penguasa kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Siapa saja yang diberi kekuasaan untuk mengurusi umatku, lalu dia tidak menasihati mereka (agar hidup sesuai dengan aturan Allah SWT), maka dia tidak akan mencium harumnya surga”.Diriwayatkan pula bahwa Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, Khalifah ke – II yang kekuasaannya telah meluas hingga Irak, Persia, Syam dan Mesir, pernah mengatakan: “Kalau sekiranya ada keledai yang jatuh terantuk batu di Syam, sungguh aku khawatir kalau-kalau Allah SWT akan memintai pertanggungjawaban kepadaku”.

Jika penguasa muslim memiliki kesadaran berkuasa menurut Islam seperti Umar bin Khaththab, tentu masyarakat tidak dibuat bingung dan resah. Justru mereka akan merasa aman tentram dan damai.

Namun sayang, penguasa kaum muslimin saat ini, dimanapun adanya, telah cacat sejak dilahirkan sebagai penguasa. Ia menjadi penguasa melalui sistem demokrasi yang memiliki paradigma politik yang tidak sesuai dengan Islam. Definisi-definisi politik yang ditulis oleh para filosof dan ilmuwan politik (lihat Miriyam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik) kurang lebih adalah “upaya memperoleh dan mempertahankan kekuasaan”. Jika setiap partai atau kelompok politik mengadopsi definisi itu, maka konsekuensi logisnya adalah akan senantiasa terjadi tarik menarik kekuasaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Perebutan kekuasaan itu akan semakin seru manakala tidak ada satu kelompok pun yang dominan. Dengan demikian situasi politik negara bakal tidak stabil. Dan itulah rahasia keadaan politik negeri ini yang dampaknya adalah kericuhan dan kerusuhan serta keresahan yang sangat merugikan masyarakat kaum muslimin.

Politik RekayasaParadigma politik seperti itulah yang kerapkali menimbulkan bergai kejadian yang sarat dengan rekayasa. Perkara pengboman pada malam natal yang hingga hari ini juga belum diumumkan secara jelas pelakunya, menurut pengamat militer MT Arifin, lebih banyak mengandung rekayasa. Dalam wawancara dengan RRI Pro2FM pada JPI Selasa 16 Januari 2001, Arifin mengatakan bahwa kasus tersebut kelihatannya tidak bakal diungkap tuntas. Alasan dia, lebih banyak mudharatnya bagi pendukung Presiden Gus Dur yang dia sebut sangat meyakini dan memaksakan keyakinan mereka bahwa pelaku pemboman itu adalah kelompok Islam kanan –disebut-sebut kelompok mantan pejuang Afghanistan– yang dipetakan sebagai penentang rezim Gus Dur. Arifin juga menyebut-nyebut, jika diungkap tuntas bisa jadi pelakunya justru orang-orang Kristen sendiri. Bau rekayasa dalam kasus pemboman malam natal itu memang tampak pada segera munculnya apa yang menyebut dirinya Forum Indonesia Damai (FID) yang terbentuk untuk kasus pengeboman di Jakarta tersebut. Seorang warga Jakarta yang berasal dari Maluku memprotes kemuculan FID sebagai tidak adil. Bagaimana mereka begitu cepat merespon bahkan melakukan blow up berita besar-besaran pemboman di Jakarta di malam natal yang jumlah korbannya hanya sedikit, sementara untuk penyerangan idul fitri tiga tahun lalu yang jumlahnya korbannya sangat besar dan menimbulkan perang sipil hingga sekarang mereka diam saja?Kalau memang itu rekayasa, maka bukan tidak mungkin pengeboman malam natal itu berhubungan erat dengan kasus Maluku mengingat pejabat gereja Maluku saat itu justru mengirim SOS ke seluruh dunia dengan mengatasnamakan kemanusiaan setelah sebelumnya mereka meminta PBB dan dunia internasional melakukan intervensi terhadap kasus Maluku.

Dan berbagai rekayasa politik seperti yang terjadi di zaman orde baru dulu kini nampak muncul kembali. Hal ini wajar, sebab paradigma politik yang digunakan hari ini masih sama dengan masa orde baru, yakni rebutan kekuasaan dalam demokrasi.

Kembali ke Politik Amar Ma’ruf Nahi MunkarIslam memberi ruang partisipasi poilitik untuk rakyat kaum muslimin baik secara pribadi maupun berkelompok dengan mewajibkan mereka melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Dia SWT berfirman:“Hendaklah ada di antara kalian sekelompok umat yang menyeru kepada kebajikan (Al Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Ali Imran 104).Pujian Allah kepada para pelaku amar ma’ruf nahi munkar pada ujung ayat tersebut (Mereka itulah orang-orang yang beruntung) merupakan indikasi bahwa aktivitas tersebut merupakan keharusan yang pasti (jazm) yang berarti hukumnya wajib.

Kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ini banyak terdapat dalam hadits, di antaranya bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, hendaklah kalian benar-benar menyuruh kepada yang ma’ruf serta mencegah dari perbuatan yang munkar, atau (kalau tidak ) Allah akan benar-benar memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian berdoa dengan sungguh-sungguh kepada-Nya, tapi Dia tidak mengabulkan doa kalian” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).Disamping itu secara khusus terdapat hadits-hadits amar-ma’ruf nahi munkar terhadap penguasa. Diantaranya menyebutkan bahwa mengontrol penguasa (muhasabah) sebagai jihad paling utama. Diriwayatkan Rasulullah saw. bersabda:“Sebaik-baik jihad adalah menyatakan kata-kata yang haqdi depan penguasa yang zhalim” (HR. Ahmad).Dan Rasulullah saw. menyamakan derajat orang yang melakukan hal itu dengan pahlawan perang Uhud Hamzah bin Abdul Muthalib, sayyidus syuhada. Rasulullah saw. bersabda:

“Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang zhalim, lalu menasihatinya lalu penguasa itu membunuhnya”.Dengan amar ma’ruf nahi mungkar, penguasa dikontrol agar setap kebijakannya sesuai dengan Al Qur’an kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Dan apabilah dalam proses kontrol terhadap penguasa itu terdapat konflik antara rakyat atau parpol dengan penguasa atau khalifah, maka mekanisme penyelesaiannya adalah dihadapkan kepada Mahkamah Mazhalim untuk dinilai siapa yang salah siapa yang benar dengan merujuk kepada Al Qur’an dan as Sunnah. Dasarnya adalah firman Allah :“Jika kalian berselisih pada satu persoalan, maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul itu (As Sunnah) jika kalian beriman” (QS. An Nisa 59).Jika semua kelompok politik yang ada di negeri yang mayoritas muslim ini kembali kepada politik amar ma’ruf nahi munkar, mereka akan menjadi parapolitisi yang independen terhadap penguasa dan tidak akan terlibat dalam pro kontra terhadap penguasa yang lebih merupakan cerminan nafsu berkelompok dan berkuasa. Mereka justru akan concern terhadap pemeliharaan urusan umat tanpa interest pribadi dan kelompok masing-masing. Mereka hanya menyuruh kepada yang ma’ruf, siapapun yang melakukannya. Dan mereka hanya mencegah dan melarang yang munkar, siapapun pelakunya.

KhatimahKini jelaslah bahwa politik dalam perspektif Islam bukanlah rebutan kekuasaan seperti yang ada dalam politik selain Islam. Justru fokus politik dalam Islam adalah pemerliharaan urusan rakyat demi kemaslahatan dan kesejahreraan mereka di dunia bahkan untuk rakyat yang muslim adalah hingga ke akhirat. Paradigma politik seperti itulah hendaknya yang dianut kaum muslimin. Kaum muslimin wajib berkelompok dalam kelompok politik yang menggunakan paradigma tersebut. Jika penguasa berbuat adil dan menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul dalam pemerintahannya, maka mereka akan senantiasa menjaga agar kekuasaan tetap di tangan penguasa tersebut. Ini dilakukan semata-mata melaksanakan perintah Rasulullah:“Jika datang seseorang sementara kekuasaan di antara kalian dipegang oleh seseorang, lalu orang yang datang itu hendak mengambilnya dan memecah persatuan kalian, maka bunuhlah orang itu”.Jika penguasa itu zhalim, apalagi menyimpang dari Islam, maka maka mereka tidak berani mendukung pemerintah tersebut, sekali pun penguasa itu masih familinya sendiri. Ini semata mereka takut larangan Allah SWT dalam firman-Nya:“Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan” (QS Hûd 113).Demikianlah sikap politik seorang muslim dan seluruh kaum muslimin yang masih ingat akhirat . Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq!

Tinggalkan komentar